Shofiyullah alkahfi alfiyah bab fail

Karya asli shofiyullah alkahfi

الفاعل
(FA’IL)
PENGERTIAN FA’IL
Fa’il adalah :
الفَاعِلُ هُوَ الْإِسْمُ الْمُسْنَدُ إِلَيْهِ فِعْلٌ تَامٍ – مُقَدَّمٌ غَيْرُ مُصَوِّغٍ لِلْمَفْعُوْلِ – أَوْ جَارٍ مَجْرَاهُ
Fa’il adalah isim yang disandari fi’il tam –yang didahulukan yang tidak dicetak untuk maf’ul – atau yang seperti fi’il tam.
Seperti contoh : قَامَ زَيْدٌ
- Qayyid الإسم  memuat
a.Isim Sharih,seperti : جَاءَ زَيْدٌ
b.Isim Muawwal,seperti : يُعْجِبُنِي أَنْ تَضْرِبَ  (Olehnya kamu memukul umar mengagumkanku)
- Qayyid المسند إليه  mengecualikan lafadz yang tidak musnad ilaih,seperti maf’ul dan mengecualikan musnad ilaih yang tidak terdiri dari fi’il,seperti : زَيْدٌ أَخُوْكَ
- Qayyid tam mengecualikan fi’il naqish,seperti : كان و أخواتها  maka lafadz-lafadz yang dirafa’kan oleh fi’il-fi’il naqish tidak dinamakan fa’il secara haqiqi.
- Qayyid مقدم  mengecualikan contoh : زَيْدٌ قَامَ
- Qayyid غَيْرُ مُصَوِّغٌ لِلْمَفْعُوْلِ  mengecualikan contoh : ضُرِبَ زَيْدٌ  dan يُضْرَبُ زَيْدٌ  yang fi’ilnya menuntut naibul fa’il
- Qayyid أَوْ جَارٍ مَجْرَاهُ  adalah amil-amil dari fa’il yang berlaku seperti fi’il yang akan diterangkan dalam bait pertama dalam الفاعل .

TAQRIRAT
زَيْدٌ مُنِيْـــــرًا وَجْهُــــــهُ نِعْــمَ الْفَتَى ۞ اَلْفَاعِــــلُ  الَّذِيْ كَمَرْفُوْعَــــيْ  أَتَى
Fa’il adalah isim yang seperti dua lafadz yang dibaca rafa’nya lafadz : أَتَى زَيْدٌ مُنِيْرًا وَجْهُهُ ؛ نِعْمَ الْفَتَى 
فَهُــــــوَ  وَإِلاَّ فَضَمِـيـــــْرٌ نِاسْـتَتَرْ ۞ وَبَعْـدَ فِعْـــــلٍ فَاعِلٌ فَإِنْ ظَهَــــرْ
Setelah fi’il terdapat Fa’il,maka apabila fa’il tampak maka disebut fa’il dhahir,dan apabila tidak tampak maka dhamir mustatar
لاِثْنَيـــــْنِ أَوْ جَمْــــعٍ كَفَازَ الشُّـهَدَا ۞ وَجَـــــرِّدِ الْفِعْلَ إِذَا مَـا أُسْنِـــــدَا
Dan sepikanlah fi’ilketika disandarkan kepada fa’il taniyah atau  jama,seperti : فَازَ الشُّـهَدَا
وَالْفِعْـلُ لِلظَّاهِرِ بَعْـــــدُ مُسْـنَــــدُ ۞ وَ قَدْ يُقَـــــالُ سَعِـدَا وَ سَعِــــدُوْا
Dan terkadang diucapkan : سَعِـدَا  dan سَعِــــدُوْا
Sedangkan fa’il setelahnya disandarkan pada isim dhahir
كَمِثْلِ زَيْدٌ فيِ جَوَابِ مَنْ قَــــــرَا ۞ وَ يَرْفَـــــعُ الْفَاعِلَ فِعْــــــلٌ أُضْمِـرَا
Fi’il yang tersimpan merafa’kan fa’il,seperti lafadz زَيْدٌ yang menjadi jawab dari : مَنْ قَــــــرَاءَ ؟
كَانَ لأِنْثَى كَأَبَتْ  هِنْـــــدُ اْلأَذَى ۞ وَ تَـاءُ تَأْنِيْثٍ تَلِي الْمَاضِــــيّ  إِذَا
Ta’ ta’nits mengiringi fi’il madli ketika fa’ilnya muannats,seperti : أَبَتْ  هِنْـــــدُ اْلأَذَى
مُتَّصِــــــلٍ أَوْ مُفْهِمٍ ذَاتَ حِــــرِ ۞ وَ إِنَّمَا تَلْـــزَمُ فِعْــــــلَ مُضْمَــــــرِ
Ta’ ta’nits wajib pada fi’il yang disandarkan dhamir muttashil atau yang memberi pemahaman mempunyai farji

TERJEMAH TAQRIRAT  :
(الذي كمرفوعي أتى) yaitu isim yang amil disandarkan padanya dan secara asal mendahuluinya
(كمرفوعي أتى ألخ) terkadang lafadznya fa’il dijarkan dengan cara mengidhafahkannya pada mashdar,seperti : وَ لَوْلَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ
(و بعد فعل فاعل) maka fa’il tidak boleh mendahului fi’il ,karena fa’il seperti satu bagian dari fi’il
(فهو) seperti : قَامَ زَيْدٌ  dan قَامَ الزَّيْدَانِ  dan الزَّيْدَانِ قَامَا 
(فضمير إستتر) seperti : زَيْدٌ قَامَ  dan هِنْدٌ قَامَتْ
(و  جرد الفعل) yaitu disepikan dari alamat tasniyah dan jama’
(و قدد يقال سعدا) dan lughat ini disebut lughatnya : أكلوني البراغيث
(فعل أضمر) secara jawaz seperti contohnya nadzim
Atau secara wujub : وَ إِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ  إسْتَجَارَكَ   seperti dalam bab isytighal
(تلي الماضي) karena menunjukkan ta’nitsnya fa’il seperti contohnya nadzim.
(متصل)yang kembali pada fa’il muannats sama halnya :
- Muannats haqiqi : هِنْدٌ قَامَتْ
- Muannats majazi : الشَّمْسُ طَلَعَتْ
(أو مفهم ذات حر)yaitu yang mempunyai farji  dan dinamakan muannats haqiqi,seperti contoh : قَامَتْ هِنْدٌ
Berbeda dengan lafadz yang disandarkan pada fa’il dhahir muannats bukan haqiqi ,seperti : طَلَعَتِ الشَّمْسُ   maka memasang ta’ tidak wajib.

Keterangan :
AMIL-AMIL FA’IL
زَيْدٌ مُنِيْـــــرًا وَجْهُــــــهُ نِعْــمَ الْفَتَى ۞ اَلْفَاعِــــلُ  الَّذِيْ كَمَرْفُوْعَــــيْ  أَتَى
Fa’il adalah isim yang seperti dua lafadz yang dibaca rafa’nya lafadz : أَتَى زَيْدٌ مُنِيْرًا وَجْهُهُ ؛ نِعْمَ الْفَتَى 

Amilnya fi’il dibagi menjadi dua :
1. Fi’il
Fi’il dibagi menjadi dua ,yaitu :
a. Fi’il muttasharif,seperti : أَتَى زَيْدٌ    zaid telah datang
b. Fi’il jamid,seperti : نِعْمَ الْفَتَى  sebaik-baik pemuda adalah zaid
2. Serupa dengan fi’il
Yang dibagi menjadi tujuh :
a. Isim fa’il : جَاءَ زَيْدٌ مُنِيْرًا  وَجْهُهُ   zaid yang bersinar wajahnya datang
b. Sifat musyabihat : زَيْدٌ حَسَنٌ وَجْهُهُ  zaid tampan wajahnya
c. Mashdar : عَجِبْتُ مِنْ ضَرْبِ زَيْدٍ عَمْرًا   saya kagum atas pukulannya zaid terhadap umar
d. Isim fi’il ,seperti : هَيْهَاتَ الْعَقِيْقُ  Alangkah jauhnya jurang akik
e. Dharaf,seperti : زَيْدٌ  عِنْدَكَ أَبُوْهُ  Zaid disampingnya ada ayahnya
f. Jar majrur,seperti : زَيْدٌ فِي الدَّارِ غُلَامَاهُ  Dirumah zaid ada 2 pembantunya.
g. Af’al tafdhil .seperti : مَرَرْتُ بِالْأَفْضَلِ أَبُوْهُ  Saya berjalan bertemu orang yang lebih utama
Dan kedua amil diatas sudah disebutkan mushannif dalam baitnya  dengan contoh : أَتَى زَيْدٌ   yang merupakan amil fi’il dan مُنِيْرًا وَجْهُهُ  yang merupakan amil serupa dengan fi’il.

FAEDAH
 Menurut qaul shahih Yang merafa’kan fa’il adalah fi’il atau serupanya fi’il dan terkadang fa’il dinashabkan secara syadz,seperti : كَسَرَ الزُّجَاجُ الْحَجَرَ ؛  خَرَقَ الثَّوْبُ الْمِسْمَارَ.
 Yang dimaksud mushannif dengan (كمرفوعي أتى)  adalah 2 fa’il yang dirafa’kan oleh 2 amil yaitu amil fi’il berupa أتى  dan serupanya fi’il berupa منيرًا  karena mushannif dalam bait diatas memberikan 3 contoh yang kelihatannya tidak sesuai dengan apa yang disebutkan mushannif yaitu 2.
 Dua contoh ini :
- أتَى زَيْدٌ
- نِعْمَ الْفَتَى
Adalah 2 contoh yang diberikan nadzim yang memberikan pengertian bahwa tidak ada bedanya antara fi’il muttasharif dengan fi’il jamid.

HUKUMNYA FA’IL
فَهُــــــوَ  وَإِلاَّ فَضَمِـيـــــْرٌ نِاسْـتَتَرْ ۞ وَبَعْـدَ فِعْـــــلٍ فَاعِلٌ فَإِنْ ظَهَــــرْ
Setelah fi’il terdapat Fa’il,maka apabila fa’il tampak maka disebut fa’il dhahir,dan apabila tidak tampak maka dhamir mustatar

Hukumnya fa’il adalah wajib diakhirkan dari amil yang merafa’kannya baik yang merafa’kan itu berupa :
- Fi’il,seperti : قَامَ زَيْدٌ 
- Serupa fi’il,seperti :  زَيْدٌ قَائِمٌ غُلَامُهُ pembantunya zaid berdiri
Maka fa’il tidak boleh mendahului amilnya dengan mengatakan : زَيْدٌ قَامَ  atau زَيْدٌ غُلَامُهُ قَائِمٌ  dengan menjadikan tarkibnya sebagai fa’il,akan tetapi yang sesuai tarkibnya adalah mubtada’khabar dan fi’il setelahnya merafa’kan dhamir yang tersimpan taqdirnya : زيد قام أي هو   dan ini adalah madzhabnya ulama’ bashrah.
Sedangkan ulama’ kufah membolehkan mendahulukan fa’il secara keseluruhan (dalam keadaan apapun).
Perbedaan ulama’ bashrah dan kufah akan tampak diselain contoh mufrad (زَيْدٌ قَامَ) yaitu jama’ dan tasniyah :
- Ulama’ kufah : الزَّيْدَانِ قَامَ ؛ الزَّيْدُوْنَ قَامَ
- Ulama’ bashrah : الزَّيْدَانِ قَامَا ؛ الزَّيْدُوْنَ قَامُوْا
Dan yang dimaksud dengan فإن ظهر  adalah bahwa fi’il dan serupanya mempunyai lafadz-lafadz yang dibaca rafa’ jika yang dirafa’kan tampak maka disebut fa’il dhahir,seperti : قَامَ زَيْدٌ ؛ قَامَ الزَّيْدَانِ
Dan jika yang dirafa’kan tidak tampak maka disebut fa’il dhamir mustatir ,seperti : زَيْدٌ قَامَ   taqdirnya زَيْدٌ قَامَ أَيْ هُوَ .

FAEDAH
 Fa’il tidak boleh didahulukan dari fi’il karena fa’il dengan fi’il  seperti satu bagian yang tak terpisahkan,maka bagian yang kedua tidak boleh mendahului bagian yang pertama.
 Menurut imam kisa’i boleh membuang fa’il secara mutlaq .
 Yang dimaksud dhahir dalam bait adalah yang dilafadzkan maka memasukkan dhamir bariz,seperti : فَعَلْتُ
karena dalam bait diatas, macam fa’il itu kalau bukan fa’il dhahir maka fa’il dhamir mustatir.


MENYEPIKAN TANDA TASNIYAH DAN JAMA’
لاِثْنَيـــــْنِ أَوْ جَمْــــعٍ كَفَازَ الشُّـهَدَا ۞ وَجَـــــرِّدِ الْفِعْلَ إِذَا مَـا أُسْنِـــــدَا
Dan sepikanlah fi’ilketika disandarkan kepada fa’il tasniyah atau  jama,seperti : فَازَ الشُّـهَدَا
وَالْفِعْـلُ لِلظَّاهِرِ بَعْـــــدُ مُسْـنَــــدُ ۞ وَ قَدْ يُقَـــــالُ سَعِـدَا وَ سَعِــــدُوْا
Dan terkadang diucapkan : سَعِـدَا  dan سَعِــــدُوْا
Sedangkan fa’il setelahnya disandarkan pada isim dhahir

Menurut jumhurul arab ,ketika fi’il disandarkan pada fa’il dhahir  muannats dan jama’ ,maka wajib menyepikannya dari alamat tasniyah dan jama’ (keadaannya seperti ketika bertemu fa’il yang mufrad),contoh :
- Tasniyah : قَامَ الزَّيْدَانِ
- Jama’ : قَامَ الزَّيْدُوْنَ
Seperti :
- Mufrad : قَامَ زَيْدٌ
Dan seperti contohnya mushannif :
- Tasniyah : فَازَ الشَّهِيْدَانِ    sungguh beruntung dua orang mati syahid
يَفُوْزُ  الشَّهِيْدَانِ           
- Jama’ : فَازَ الشُّهَدَاءُ   sungguh beruntung orang - orang mati syahid
يَفُوْزُ  الشُّهَدَاءُ          
- Muannats : فَازَتْ الهِنْدَاتُ  sungguh beruntung para hindun
تَفُوْزُ الْهِنْدَاتُ                .
Catatan :
 Dalam ta’nits ,fi’il tidak disepikan (فَازَتْ)  dari tanda ta’nits karena dibutuhkannya tanda ta’nits,karena terkadang fa’il bentuk lafadznya mudzakar dan ma’nanya muannats atau juga sebaliknya,maka tidak bisa diketahui kecuali dengan memasang ta’ ta’nits.
Sedangkan menurut madzhab yang lain yang merupakan madzhab yang sedikit digunakan (qalil) bahwa fi’il ketika  diisnadkan pada fa’il isim dhahir yang tasniyah atau jama’ maka fi’ilnya diberi alamat tasniyah atau jama’
Maka menurut madzhab ini diucapkan :
- فَازَا الشَّهِيْدَانِ ؛ قَامَا الزَّيْدَانِ  
- فَازُوا الشُّهَدَاءُ ؛ قَامُوْا الزَّيْدُوْنَ 
- فُزْنَ الْهِنْدَاتُ ؛ قُمْنَ الْهِنْدَاتُ
Dikatakan sedikit kalau memang fi’il tersebut disandarkan pada fa’il dhahir setelahnya
Tetapi bila fi’il diisnadkan pada alif wawu / nun dan isim dhahirnya menjadi mubtada’ atau menjadi badal maka tidak tergolong lughat yang qalil ,seperti contoh : قَامَا الزَّيْدَانِ ؛ قَامُوْا الزَّيْدُوْنَ
Dan menurut ulama’ nahwu lughat yang qalil disebut sebagai lughat  :
أكُلُوْنِي الْبَرَاغِيْثُ
Nyamuk-nyamuk menggigitku
Lafadz البَرَاغِيْثُ  adalah fa’ilnya lafadz أكُلُوْنِي
Sedangkan menurut mushannif disebut lughat :
يَتَعَاقَبُوْنَ فِيْكُمْ مَلَائِكَةٌ  بِاللَّيْلِ وَ مَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ
Malaikat yang bertugas dimalam hari dan malaikat yang bertugas disiang hari saling bergantian menjaga kalian
Lafadz مَلَائِكَةٌ  adalah fa’ilnya يَتَعَاقَبُوْنَ .

FAEDAH
 Sebagian ulama’ nahwu  bercerita bahwa lughat diatas adalah lughat qabillah thayyi’.
 Hadits يَتَعَاقَبُوْنَ  diatas ,adalah hadits yang redaksi depannya dibuang oleh rawinya,dan lengkapnya adalah :

إنَّ للهِ مَلَائِكَةً  يَتَعَاقَبُوْنَ فِيْكُمْ مَلَائِكَةٌ  بِاللَّيْلِ وَ مَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ
Sesungguhnya bagi allah malaikat – malaikat Malaikat yang bertugas dimalam hari dan malaikat yang bertugas disiang hari saling bergantian menjaga kalian .


HUKUMNYA FA’IL
كَمِثْلِ زَيْدٌ فيِ جَوَابِ مَنْ قَــــــرَا ۞ وَ يَرْفَـــــعُ الْفَاعِلَ فِعْــــــلٌ أُضْمِـرَا
Fi’il yang tersimpan merafa’kan fa’il,seperti lafadz زَيْدٌ yang menjadi jawab dari : مَنْ قَــــــرَاءَ ؟

Ketika ada dalil yang menunjukkan terbuangnya fi’il maka diperbolehkan membuang fi’il,dalam hal pembuangan fi’il terdapat dua bagian  :
1. Pembuangan secara jawaz
Fi’il bisa dibuang dan ditetapkan yaitu seperti yang ada dalam istifham ,contoh ketika ada yang bertanya : مَنْ قَرَأَ  siapa yang membaca
Kemudian dijawab : زَيْدٌ yang taqdirnya : قَرَأَ زَيْدٌ
2. Pembuangan secara wajib
Yaitu ketika ada isim yang dibaca rafa’ yang jatuh setelah إن  atau إذا  maka isim tersebut dirafa’kan dengan menjadi fa’il dari fi’il yang dibuang,seperti contoh :
  وَ إِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إسْتَجَارَكَ (apabila seseorang menyelamatkanmu dari orang-orang musyrik)
Fi’il yang dibuang taqdirnya adalah :
وَ إِنْ إسْتَجَارَكَ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ إسْتَجَارَكَ
Dan
إذا السَّمَاءُ إنْشَقَّتْ  (ketika langit terbelah)
Fi’il yang dibuang taqdirnya adalah :
إذا إنْشَقَّتْ السَّمَاءُ إنْشَقَّتْ  

Catatan :
 Pendapat diatas adalah pendapat mayoritas ulama’ seperti yang akan dibahas dalam bab Isytighal.


FAEDAH
 Bait diatas adalah hukum yang kelima bab fa’il,dan seandainya bait diatas diucapkan :
كَمِثْلِ زَيْدٌ فيِ جَوَابِ مَنْ وَفَــــى ۞ وَ يَرْفَــــعُ الْفَاعِلَ فِعْــــــلٌ حُذِفَا
Fi’il yang dibuang  merafa’kan fa’il,seperti lafadz زَيْدٌ yang menjadi jawab dari : مَنْ قَــــــرَأ ؟

Maka akan selamat dari penggantian Idhmar dari hadzfu karena sifatnya fi’il tidak diidhmar (simpan) akan tetapi dihadzfu  (dibuang).
 Menurut qaul yang paling shahih yang merafa’kan fa’il diatas adalah fi’il dan lafadz-lafadz yang berlaku seperti fi’il.
 Pertanyaan : Kenapa tidak ditaqdirkan زَيْدٌ الْقَارِئُ  supaya sesuai dengan pertanyaan (sama-sama jumlah ismiyyah )
Dijawab : karena mentaqdirkan jumlah fi’liyyah قَرَأَ زَيْدٌ  dalam keadaan/bab seperti ini banyak terjadi.


PEMASANGAN TA’ TA’NITS
كَانَ لأِنْثَى كَأَبَتْ  هِنْـــــدُ اْلأَذَى ۞ وَ تَـاءُ تَأْنِيْثٍ تَلِي الْمَاضِــــيّ  إِذَا
Ta’ ta’nits mengiringi fi’il madli ketika fa’ilnya muannats,seperti : أَبَتْ  هِنْـــــدُ اْلأَذَى

Ketika fi’il madli disandarkan pada fa’il muannats ,maka fi’il madli dipasang ta’ sakinah yang menunjukkan bahwa fi’ilnya adalah muannats,dan tidak ada bedanya antara fa’ilnya berupa :
a. Haqiqi ,seperti : قَامَتْ هِنْدٌ
b. Majazi ,seperti : طَلَعَتِ الشَّمْسُ
Dan dalam hal pemasangan ta’ ta’nits ini ada 2 hal yang akan diterangkan dalam bait selanjutnya .
FAEDAH
 Sepertihalnya fi’il madli adalah sifat ,seperti : أَقَائِمَةٌ هِنْدٌ .
 Macam-macam muannats :
- Muannats haqiqi ,seperti yang mempunyai farji : الْمَرْأَةُ ؛ هِنْدٌ
- Muannats majazi,yang tidak mempunyai farji ,seperti : الشَّمْسُ ؛ الْأَرْضُ
- Muannats ta’wily seperti lafadz الْكِتَاب  yang dimaksud adalah الصَّحِيْفَة
- Muannats hukmy,seperti yang mudhaf pada lafadz muannats,seperti : صَدْر الْمَرْأَة .
 Ta’ diatas tidak diperuntukkan untuk fi’il mudhari’ dan fi’il amar ,karena fi’il mudhari’ sudah dicukupkan dengan huruf mudhara’ah dan fi’il amar sudah dicukupkan dengan  ya’.
 Tidak ada perbedaan antara fi’il madli yang :
- Jamid ,seperti : لَيْسَتْ
- Muttasharif,seperti : قَامَتْ
- Tam,seperti : ضَرَبَتْ
- Naqish,seperti : دَامَتْ .

PEMBAGIAN PEMASANGAN TA’ TA’NITS
مُتَّصِــــــلٍ أَوْ مُفْهِمٍ ذَاتَ حِــــرِ ۞ وَ إِنَّمَا تَلْـــزَمُ فِعْــــــلَ مُضْمَــــــرِ
Ta’ ta’nits wajib pada fi’il yang disandarkan dhamir muttashil atau yang memberi pemahaman mempunyai farji

Pemasangan ta’ ta’nits terbagi menjadi dua,yaitu :

1. Pemasangan wajib
Ta’ ta’nits wajib bagi fi’il madli dalam dua tempat :
a. Yaitu ketika fi’il disandarkan pada dhamir muannats muttashil,baik yang :
- Muannats haqiqi,seperti : هِنْدٌ قَامَتْ
- Muannats majazi,seperti : الشَّمْسُ طَلَعَتْ
Dan tidak boleh diucapkan : هِنْدٌ قَامَ   dan الشَّمْسُ طَلَعَ
Catatan :
- Ketika dhamirnya munfashil maka tidak wajib memasang ta’ta’nits,seperti هِنْدٌ مَا قَامَ إِلَّا هِيَ
b. Ketika fi’il madli disandarkan pada fa’il dhahir muannats yang haqiqi,seperti : قَامَتْ هِنْدٌ  dan ini yang dimaksud dengan أَوْ مُفْهِمٍ ذَاتَ حِرِ

2. Pemasangan jawaz
Ta’ bisa dipasang dan tidak, diselain 2 tempat yang telah disebutkan diatas,yaitu ketika :
- Ketika fi’il  disandarkan pada fa’il muannats majazi ,seperti :   طَلَعَتِ  الشَّمْسُ  maka bisa diucapkan طَلَعَ  الشَّمْسُ
- Fa’ilnya berupa dhamir munfashil,seperti : هِنْدٌ مَا قَامَ إِلَّا هِيَ  maka bisa diucapkan هِنْدٌ مَا قَامَتْ إِلَّا هِيَ  
- Fa’il yang berupa jama’ (selain jama’ mudzakar),seperti : قَامَ الْهُنُوْدُ   maka bisa diucapkan : قَامَتِ الْهُنُوْدُ .

FAEDAH
   حِرِ Asalnya adalah حِرِحٌ  : dengan dalil ketika ditashgir menjadi حُرَيْح  dan jama’nya أحْرَاح  lamnya dibuang dengan tanpa alasan menjadi حِرِ  yang artinya farjinya perempuan.

TAQRIRAT
نَحْوِ أَتَى الْقَاضِيَ بِنْتُ الْوَاقِـــــفِ ۞ وَقَدْ يُبِيْحُ الْفَصْلُ تَرْكَ التَّــــاءِ فيِ
Dan terkadang adanya  pemisah membolehkan untuk  meninggalkan ta’ dalam contoh : أَتَى الْقَاضِيَ بِنْتُ الْوَاقِـــــفِ
كَمَا زَكَا إِلاَّ فَـتَـــــاةُ ابْــنِ الْعَــــــلاَ ۞ وَالْحَذْفُ مَعْ فَصْــلٍ بِإِلاَّ فُضِّــــــلاَ
Membuang beserta dengan adanya pemisah dengan menggunakan إِلاَّ itu diutamakan ,seperti contoh : مَا زَكَا إِلاَّ فَـتَـــــاةُ ابْــنِ الْعَــــــلاَ
ضَمِيْرِ ذِي اْلمَجَازِ فيِ شِعْــــرٍ وَقَعْ ۞ وَاْلحَذْفُ قَدْ يَأْتِيْ بِلاَ فَصْــلٍ وَ مَعْ
Membuang terkadang datang dengan tidak adanya pemisah dan beserta dhamirnya fa’il majazi yang jatuh dalam kalam syi’ir
مُذَكَّرٍ كَالتَّاءِ  مَعْ إِحْـــــدَى اللَّبِنْ ۞ وَ  التَّاءُ مَعْ جَمْعٍ سِوَى السَّالِمِ  مِنْ
Ta’ yang bersamaan dengan fa’il jama selain jama’ mudzakar salim hukumnya seperti ta’ mufradnya  lafadz : (ta’ muannats majazi)
لأِنَّ قَصْدَ الْجِنْسِ فِيْــــــهِ بَـيِـــّنُ ۞ وَ اْلحَذْفُ فيِ نِعْمَ الْفَتَاةُ اسْتَحْسَنُوْا
Membuang ta’ dalam lafadz نِعْمَ الْفَتَاةُ   itu dianggap bagus karena yang tampak jelas dalam lafadz tersebut adalah menyengaja / bertujuan jenis .
وَاْلأَصْلُ فيِ اْلمَفْعُوْلِ أَنْ يَنْفَصِــــلاَ ۞ وَ اْلأَصْلُ فيِ الْفَاعِلِ  أَنْ يَتَّصِلاَ
Asal dalam fa’il adalah sambung dengan fi’ilnya sedangkan asal dalam maf’ul adalah pisah dengan fi’ilnya
وَقَدْ يَجِي الْمَفْعُوْلُ قَبْلَ الْفِعْــــــلِ ۞ وَ  قَدْ يُجَــــــاءُ بِخِلاَفِ اْلأَصْــــلِ
Terkadang keduanya bertentangan dengan hukum asal dan terkadang maf’ul disebutkan sebelum fi’il


TERJEMAH TAQRIRAT  :
(و قد يبيح) antara fi’il dan fa’il dengan tanpa إلا  karena jauhnya fa’il dari fi’il dan pemisah itu seperti gantian dari ta’
(كما زكا إلا فتاة إبن العلا) karena musnad ilaih dalam ma’na adalah mudzakar dan taqdirnya adalah : مَا زَكَا أَحَدٌ إِلَّا فَتَاةُ إبْنِ الْعَلَا
(بلا  فصل) secara syadz ,imam sibawaih menceritakan : قَالَ فُلَانَةٌ
(في شعر وقع) seperti ucapan sya’ir :
فَلَا مُزْنَةٌ وَ دَقَتْ وَدْقَهَا #  وَ لَا أَرْضٌ أَبْقَلَ إِبْقَالَهَا
(كالتاء مع إحدى اللبن) maksdunya : لَبِنَةٌ  maka boleh : قَامَ الرِّجَالُ   dan قَامَتِ الرِّجَالُ  dan قَامَ الْهُنُوْدُ  dan قَامَتِ الْهُنُوْدُ  dan قَامَ الْهِنْدَاتُ dan قَامَتِ الْهِنْدَاتُ  dengan menetapkan ta’ karena dita’wilnya dengan lafadz الجماعة  dan membuang ta’ karena dita’wil lafadz : الجمع
(لإن قصد الجنس) karena mubalaghah dalam memuji dan  mencela ,maka jenis adalah mudzakar dan boleh membaca ta’nits sesuai kenyataan
(أن يتصلا) karena fa’il seperti bagian dari fi’il
(أن ينفصلا) karena maf’ul adalah fudhlah ,seperti : ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا
(بخلاف الأصل)maka maf’ul didahulukan atas fa’il seperti : ضَرَبَ عَمْرًا زَيْدٌ
(قبل الفعل) seperti : فَرِيْقًا هَدَى  dan مَنْ أَكْرَمْتَ

Keterangan :
PEMBUANGAN TA’ TA’NITS
نَحْوِ أَتَى الْقَاضِيَ بِنْتُ الْوَاقِـــــفِ ۞ وَقَدْ يُبِيْحُ الْفَصْلُ تَرْكَ التَّــــاءِ فيِ
Dan terkadang adanya  pemisah membolehkan untuk  meninggalkan ta’ dalam contoh : أَتَى الْقَاضِيَ بِنْتُ الْوَاقِـــــفِ
كَمَا زَكَا إِلاَّ فَـتَـــــاةُ ابْــنِ الْعَــــــلاَ ۞ وَالْحَذْفُ مَعْ فَصْــلٍ بِإِلاَّ فُضِّــــــلاَ
Membuang beserta dengan adanya pemisah dengan menggunakan إِلاَّ itu diutamakan ,seperti contoh : مَا زَكَا إِلاَّ فَـتَـــــاةُ ابْــنِ الْعَــــــلاَ

Membuang  ta’ ta’nits hukumnya dibagi menjadi dua bagian ,yaitu :
1. Pembuangan secara jawaz
Yaitu ketika fi’il dan fa’il muannats dipisah dengan selain إلّا  maka boleh membuang dan menetapkan ta’ dan yang lebih utama adalah menetapkan ta’,seperti : أَتَى الْقَاضِيَ  بِنْتُ الْوَاقِفِ  (telah datang pada hakim putriya orang yang berwaqaf)
Fi’il dan fa’ilnya dipisah dengan maf’ul maka bisa diucapkan
أَتَتْ الْقَاضِيَ بِنْتُ الْوَاقِفِ .

FAEDAH
 Yang lebih baik adalah menetapkan ta’ seperti yang difahami dari bait وَ قَدْ يُبِيْحُ   dengan menggunakan قَدْ  dan ini khusus pada muannats haqiqi
Sedangkan muannats majazi mengikuti imam addamamini dalam muannats majazi lebih baik membuang ta’ karena untuk menjelaskan keutamaan muannats  haqiqi atas yang lainnya.
 Alasan diperbolehkannya memisah karena jauhnya fa’il dari fi’il dan pemisahnya seperti pengganti dari ta’.

2. Pembuangan secara wajib
Yaitu ketika fi’il dan fa’il muannats dipisah dengan menggunakan إلّا  ,maka dalam hal ini wajib membuang ta’ menurut mayoritas ulama’.
Contoh :
مَا قَامَ إِلَّا هِنْدٌ
مَا طَلَعَ إِلَّا الشَّمْسُ
Dan tidak boleh diucapkan
مَا قَامَتْ إِلَّا هِنْدٌ
مَا طَلَعَتْ إِلَّا الشَّمْسُ .

Alasannya adalah karena musnad ilaih secara ma’na adalah mudzakar karena taqdirnya adalah مَا زَكَا أَحَدٌ إِلَّا فَتَاةُ إبْنِ الْعَلَا  (tidak ada pr yang bagus kecuali anaknya p ali)

Catatan
- Mushannif mengatakan فُضِّلَا  bukan berarti boleh dipasang ,bahkan hukumnya tidak oleh dipasang dalam kalam natsar hanya khusus/boleh dalam kalam syi’ir.

FAEDAH
 Dikitab yang lain mushannif mengatakan : qaul yang shahih adalah boleh membuang ta’ dalam kalam natsar (berbeda dengan mayoritas ulama’).


PEMBUANGAN TANPA PEMISAH

ضَمِيْرِ ذِي اْلمَجَازِ فيِ شِعْــــرٍ وَقَعْ ۞ وَاْلحَذْفُ قَدْ يَأْتِيْ بِلاَ فَصْــلٍ وَ مَعْ
Membuang terkadang datang dengan tidak adanya pemisah dan beserta dhamirnya fa’il majazi yang jatuh dalam kalam syi’ir

Terkadang Ta’ Dibuang dari fi’il yang disandarkan pada fa’il muannats yang haqiqi dengan tanpa ada pemisah dan hukumnya sedikit bahkan dihukumi syadz,seperti yang diceritakan oleh imam sibawaih : قَالَ فُلَانَةٌ
Sedangkan ta’ terkadang dibuang dari fi’il yang disandarkan pada dhamir muannats majazi akan tetapi pembuangan ini khusus dalam syi’ir ,seperti : أَبْقَلَ  yang ruju’ pada lafadz أرْض  dibaca أبْقَلَ  tidak أَبْقَلَتْ  .

FAEDAH
 Imam ibnu kisan juga membolehkan membuang dalam kalam natsar : الشَّمْسُ طَلَعَ ,seperti ketika : طَلَعَ الشَّمْسُ .


TA’ BERSAMA FA’IL JAMA’

مُذَكَّرٍ كَالتَّاءِ  مَعْ إِحْـــــدَى اللَّبِنْ ۞ وَ  التَّاءُ مَعْ جَمْعٍ سِوَى السَّالِمِ  مِنْ
Ta’ yang bersamaan dengan fa’il jama selain jama’ mudzakar salim hukumnya seperti ta’ mufradnya  lafadz : لبنة  (ta’ muannats majazi)
لأِنَّ قَصْدَ الْجِنْسِ فِيْــــــهِ بَـيِـــّنُ ۞ وَ اْلحَذْفُ فيِ نِعْمَ الْفَتَاةُ اسْتَحْسَنُوْا
Membuang ta’ dalam lafadz نِعْمَ الْفَتَاةُ itu dianggap bagus karena yang tampak jelas dalam lafadz tersebut adalah menyengaja / bertujuan jenis .

Hukumnya fi’il ketika disandarkan pada fa’il jama’ ditafshil sebagai berikut :
1. Ketika fa’ilnya berupa jama’ mudzakar salim
Maka hukumnya adalah tidak boleh menyertai fi’il dengan ta’ maka tidak boleh diucapkan : قَامَتِ الزَّيْدُوْنَ  akan tetapi diucapkan قَامَ الزَّيْدُوْنَ 
2. Ketika fa’ilnya selain jama’ mudzakar salim
Yang dimaksud selain jama’ mudzakar salim adalah jama’ taksir (mudzakar / muannats) ,jama’ muannats salim maka hukumya sama dengan ta’ yang berada pada fa’il muannats majazi ,yaitu boleh menetapkan dan membuang ta’ seperti contoh :
a. Jama’ taksir mudzakar : قَامَ الرِّجَالُ  bisa diucapkan : قَامَتِ الرِّجَالُ
b. Jama’ taksir muannats : قَامَ الْهُنُوْدُ  bisa diucapkan : قَامَتِ الْهُنُوْدُ
c. Jama’ muannats salim: قَامَ الْهِنْدَاتُ  bisa diucapkan : قَامَتِ الْهِنْدَاتُ .

Catatan
- Menetapkan ta’ dengan menta’wil lafadz الجماعة  dan membuang ta’ dengan menta’wil lafadz الجمع  .
- Maksud dari كالتَّاءِ مَعْ إحْدَى اللَّبِن   adalah ta’ yang diatas sama dengan ta’nya لَبِنَة  yaitu muannats majazi maka bisa diucapkan كُسِرَ اللَّبِنَة  (batu-bata dipecah) dan juga bisa diucapkan كَسِرَتِ اللَّبِنَة  begitu juga seterusnya seperti keterangan terdahulu.


FAEDAH
 Jama’ mudzakar salim tidak diperbolehkan dita’wil dengan lafadz muannats karena jama’ mudzakar salim secara runtutannya sudah menunjukkan atas kemudzakarannya.
 Yang dimaksud مع جمع  adalah sesuatu yang menunjukkan pada lafadz yang berbilang memasukkan jama’ mudzakar salim,jama’ taksir ,jama’ muannats salim,isim jama’ ,isim jama’ dengan pembahasan tersendiri.

Dan yang dimaksud mushannif dengan و الحذف في نعم الفتاة  adalah boleh menetapkan dan membuang ta’ dalam نعم  dan saudara-saudaranya ketika fi’ilnya muannats walaupun muannats haqiqi ,seperti : نِعْمَ الْمَرْأَةُ هِنْدٌ  bisa diucapkan نِعْمَتِ الْمَرْأَةُ هِنْدٌ .


FAEDAH
 Diperbolehkannya membuang karena dalam fa’ilnya yang dituju adalah menghabiskan jenis,maka diberlakukan seperti jama’ taksir karena sama-sama lafadz yang berbilang.
 Yang dimaksud إستحسنوا  adalah : membuang ta’ itu bagus akan tetapi menetapkan ta’ lebih bagus lagi.


HUKUM ASAL FA’IL DAN MAF’UL

وَاْلأَصْلُ فيِ اْلمَفْعُوْلِ أَنْ يَنْفَصِــــلاَ ۞ وَ اْلأَصْلُ فيِ الْفَاعِلِ  أَنْ يَتَّصِلاَ
Asal dalam fa’il adalah sambung dengan fi’ilnya sedangkan asal dalam maf’ul adalah pisah dengan fi’ilnya
وَقَدْ يَجِي الْمَفْعُوْلُ قَبْلَ الْفِعْــــــلِ ۞ وَ  قَدْ يُجَــــــاءُ بِخِلاَفِ اْلأَصْــــلِ
Terkadang keduanya bertentangan dengan hukum asal dan terkadang maf’ul disebutkan sebelum fi’il

Hukum asal fa’il
Hukum asal fa’il adalah mengiring-iringi fi’ilnya  tanpa ada pemisah diantara keduanya karena seperti satu bagian ,karena alasan demikian huruf akhirnya fi’il disukun ketika :
- Bertemu dhamir mutakalim : ضَرَبْتُ
- Bertemu dhamir mukhatab : ضَرَبْتَ 

Ulama’ menyukun akhir fi’il madli karena bencinya orang arab pada empat harakat yang terus menerus dan itu adalah bukti bahwa fa’il dan fi’ilnya seperti satu kalimah.

Hukum asal maf’ul
Hukum asal maf’ul adalah terpisah dari fi’ilnya  artinya terletak setelah fa’il ,seperti : ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا

Tapi terkadang maf’ul didahulukan dari fa’ilnya seperti : ضَرَبَ عَمْرًا زَيْدٌ
Dan terkadang didahulukan dari  keduanya (fi’il + fa’il),seperti : عَمْرًا ضَرَبَ زَيْدٌ .

Catatan
- Maf’ul terpisah dari fi’ilnya karena maf’ul adalah fudhlah.

Hukum mendahulukan maf’ul
Maf’ul terkadang mendahului fi’il ,dalam hal ini ada 2 bagian ,yaitu :
1. Wajib mendahulukan maf’ul
Wajib mendahulukan maf’ul ketika :
a. Maf’ul berupa lafadz-lafadz yang wajib terletak dipermulaan,seperti : isim syarat,isim istifham, كم khabariyah atau lafadz yang dimudhafkan pada lafadz yang wajib dipermulaan.
Contoh :
- Isim syarat :
أيَّا تَضْرِبْ أَضْرِبْ     (kepada siapapun kamu memukul maka saya akan memukul)
- Isim istifham
أيَّ رَجُلٍ ضَرَبْتَ    (laki-laki mana yang kamu pukul)
-   كم Khabariyah
  كَمْ رَجُلٍ ضَرَبْتَ  (banyak sekali laki-laki yang kamu pukul)
- Lafadz yang dimudhafkan pada salah satu lafadz  diatas
غُلَامَ مَنْ تَضْرِبْ أَضْرِبْ     (kepada pelayan siapapun kamu memukul maka saya akan memukul)
غُلَامَ مَنْ ضَرَبْتَ      (pembantu siapa yang kamu pukul)
مَالَ كَمْ رَجُلٍ أَخَذْتَ     (harta berapa banyak laki-laki yang kamu ambil).

b. Dhamir munfashil diselain bab terdahulu dalam خِلْتَنِيْهِ  dan       سَلْنِيْهِ(yaitu lafadz-lafadz yang diperbolehkan membentuk dhamir munfashil beserta mengakhirkan maf’ul) dan ketika dhamir diakhirkan maka menjadi muttashil.
Contoh : إيَّاكَ نَعْبُدُ
     (hanya kepada engkau kami menyembah)
Jika diakhirkan maka menjadi نَعْبُدُكَ  karena itu maka wajib didahulukan .

2. Boleh didahulukan dan diakhirkan 
Seperti : ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا  maka bisa diucapkan : عَمْرًا ضَرَبَ زَيْدٌ .


FAEDAH
 Begitu pula wajib mendahulukan maf’ul ketika maf’ul terletak setelah fa’ dan amilnya maf’ul terletak pada jawabnya
Seperti :
Secara dhahir : فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ
Secara taqdiri : وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ .




TAQRIRAT
أَوْ أُضْمِرَ الْفَاعِلُ غَيْرَ مُنْحَصِــــــرْ ۞ وَأَخِّرِ الْمَفْعُوْلَ إِنْ لَبْسٌ حُـــــذِرْ
Dan akhirkanlah maf’ul ketika dikhawatirkan terjadi  keserupaan,atau fail berupa lafadz yang tidak dimahshur (diringkas hukumnya)
أَخِّرْ وَقَدْ يَسْبِقُ إِنْ قَصْدٌ ظَهَــرْ ۞ وَمَـــــا بِإِلاَّ أَوْ بِإِنَّمَـــــا انْحَصَـــــرْ
Dan akhirkanlah fa’il atau maf’ul yang teringkas dengan adat hasr إِلاَّ  atau  إِنَّمَـــــا
Dan terkadang fa’il atau maf’ul yang diringkas didahulukan ,ketika makna yang dikehendaki sudah jelas
وَشَـذَّ نَحْوُ زَانَ نَوْرُهُ الشَّجَـــــــرْ ۞ وَشَـــــاعَ نَحْوُ خَـــــافَ رَبَّـهُ عُمَرْ
Dan sudah masyhur susunan :  خَـــــافَ رَبَّـهُ عُمَرْ dan dihukumi syadz tarkib : زَانَ نَوْرُهُ الشَّجَـــــــرْ


TERJEMAH TAQRIRAT  :
(و أخر المفعول) secara wajib
(إن لبس حذر) karena samarnya i’rab dan tidak adanya qarinah seperti : ضَرَبَ مُوْسَى عِيْسَى
(أو أضمر الفاعل) seperti : ضَرَبْتُ زَيْدًا
(و ما بإلا أو بإنما) dari fa’il dan maf’ul
(أخر) wajib,baik itu dhahir atau dhamir ,agar supaya ma’nanya tidak terbalik ,
Tergolong contoh meringkas fa’il  adalah : مَا ضَرَبَ عَمْرًا إِلَّا زَيْدٌ  dan إِنَّمَا ضَرَبَ عَمْرًا زَيْدٌ
Dan contoh meringkas maf’ul adalah : مَا ضَرَبَ زَيْدٌ إِلَّا عَمْرًا  dan إنَّمَا ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا 
(إن قصد ظهر) dengan gambaran olehnya meringkas dengan dan didahulukan beserta lafadz yang dirringkas  ,seperti : مَا ضَرَبَ إِلَّا زَيْدٌ عَمْرًا  dan مَا ضَرَبَ إِلَّا عَمْرًا زَيْدٌ
Adapun ketika meringkas dengan إنَّمَا  maka tidak boleh mendahulukan lafadz yang diringkas (mahshur) kecuali dengan diakhirkan.
(خاف ربه عمر) karena dhamir dalam lafadz رُبَّهُ  walaupun kembali pada lafadz yang terletak diakhir secara lafadz ,walaupun demikian dhamir didahulukan dalam derajatnya.
(نحو زان نوره) karena kembalinya dhamir pada lafadz yang berakhir secara lafadz dan derajat diselain tempat-tempatnya dhamir yang berjumlah 6 yaitu :
1. Dhamir yang dirafa’kan oleh نِعْمَ  dan بئْسَ  seperti contoh  : نِعْمَ رَجُلًا زَيْدٌ  dan بِئْسَ رَجُلًا عَمْرٌو   dengan dalih bahwa lafadz yang ditakhsis adalah mubtada’ dari khabar yang dibuang atau khabar dari mubtada’ yang dibuang .
2. Dhamir yang dirafa’kan oleh amil yang pertama dari 2 amil yang berebut dan yang diamalkan adalah lafadz yang kedua ,seperti : يُحْسِنَانِ وَ يُسِيْئُ إِبْنَاكَ
3. Dhamir yang mempunyai khabar kemudian dijelaskan oleh khabarnya seperti : إنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا 
4. Dhamir sya’n dan qishah,seperti : قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ  dan فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ أَبْصَارُ الذِيْنَ كَفَرُوْا 
5. Dhamir  yang dijarkan dengan رُبَّ  dan hukumnya seperti hukumnya dhamirnya نعم  dan بئس  yaitu sama-sama mufassirnya wajib berupa tamyiz dan juga mufrad seperti contoh : رُبَّهُ رَجُلًا  tetapi wajib dimudzakarkan ,seperti : رُبَّهُ إِمْرَأَةٌ
6. Dhamir yang isim dhahir menggantikannya dan menjelaskannya ,seperti : ضَرَبْتُهُ زَيْدًا


Keterangan :

WAJIB MENGAKHIRKAN MAF’UL
أَوْ أُضْمِرَ الْفَاعِلُ غَيْرَ مُنْحَصِــــــرْ ۞ وَأَخِّرِ الْمَفْعُوْلَ إِنْ لَبْسٌ حُـــــذِرْ
Dan akhirkanlah maf’ul ketika dikhawatirkan terjadi  keserupaan,atau fail berupa lafadz yang tidak dimahshur (diringkas hukumnya)

Maf’ul wajib diakhirkan didalam dua tempat ,yaitu :
1. Ketika dikhawatirkan terjadi keserupaan
Contoh : ضَرَبَ مُوْسَى عِيْسَى    (musa memukul isa)
               ضَرَبَ إِبْنِي أَخِيْ    (anakku memukul saudaraku)

Dikarenakan samarnya i’rab pada keduanya dan tidak ada qarinah yang menjelaskan mana yang fa’il dan mana yang maf’ul ,ketika demikian maka cara menentukannya adalah dengan menggunakan urutan  (ruthbah) yang disebutkan terlebih dahulu berarti menjadi fa’il dan yang disebutkan akhir berarti maf’ul
Maka dalam dua  contoh diatas bisa diketahui bahwa fa’ilnya adalah : موسى  dan إبْنِي  dan maf’ulnya adalah عيسى  dan أخِي 
Akan tetapi ketika terdapat qarinah maka boleh mengakhirkan dan mendahulukan maf’ul .
Dan qarinah ada 2 :
a. Qarinah lafdziyyah
Seperti contoh :  ضَرَبَتْ مُوْسَى سَلْمَى  (salma memukul musa)
Bisa diucapkan ضَرَبَتْ سَلْمَى مُوْسَى
Boleh mendahulukan maf’ul (موسى) karena sudah ada qarinah yaitu ta’ dan yang menjadi fa’il adalah سلمى  maka tidak dikhawatirkan terjadi keserupaan.
b. Qarinah ma’nawiyyah
Seperti contoh  : أكَلَ مُوْسَى الْكُمَثَّرَى  (musa memakan jambu klutuk)
Maka bisa diucapkan أكل موسى الكمثرى  .


2. Ketika fa’ilnya berupa dhamir yang tidak dimahshur
Seperti contoh : ضَرَبْتُ زَيْدًا
Apabila fa’ilnya berupa dhamir yang mahsur maka wajib mengakhirkan fa’il seperti contoh  : مَا ضَرَبَ زَيْدًا إِلا أَنَا   (tidak ada yang memukul zaid kecuali saya).


FAEDAH
 Qarinah lafdziyah terbagi menjadi 3   :
- Jelasnya i’rab dalam tabi’
Seperti contoh : ضَرَبَ مُوْسَى الظَّرِيْفُ عِيْسَى     (musa yang baik memukul pembantunya)
Ketika lafadz الظَّرِيف  dibaca rafa’ maka  lafadz موسى  juga dibaca rafa’ begitu pula ketika dibaca nashab.
- Sambung dengan dhamir
Seperti contoh : ضَرَبَ فَتَاهُ مُوْسَى    (musa memukul pembantunya)
Dikarenaka wajibnya mendahulukan marji’nya dhamir walau secara pangkat (rutbah)
- Ta’nitsnya fi’il
Seperti contoh : ضَرَبَتْ مُوْسَى سَلْمَى 
 Begitu pula wajib mengakhirkan fa’il ketika maf’ul berupa isim dhamir ,seperti contoh : ضَرَبَنِي زَيْدٌ  .


MERINGKAS FA’IL DAN MAF’UL
أَخِّرْ وَقَدْ يَسْبِقُ إِنْ قَصْدٌ ظَهَــرْ ۞ وَمَـــــا بِإِلاَّ أَوْ بِإِنَّمَـــــا انْحَصَـــــرْ
Dan akhirkanlah fa’il atau maf’ul yang teringkas dengan adat hasr إِلاَّ  atau  إِنَّمَـــــا
Dan terkadang fa’il atau maf’ul yang diringkas didahulukan ,ketika makna yang dikehendaki sudah jelas

Ketika fa’il atau maf’ul diringkas dengan إلا  atau إنَّما  maka wajib mengakhirkan lafadz yang dihasr (mahshur).
1. Hasrul fa’il
Meringkas objek maf’ul yang hanya dilakukan fa’il
Contoh : مَا ضَرَبَ عَمْرًا إِلَّا زَيْدٌ  ؛  إِنَّمَا ضَرَبَ عَمْرًا زَيْدٌ
(yaitu meringkas terpukulnya umar yang hanya dilakukan zaid namun tidak menutup kemungkinan zaid memukul pada selain umar).
2. Hasrul maf’ul
Maksudnya meringkas fa’il hanya dilakukan maf’ul
Seperti contoh : إنَّمَا ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا  ؛  مَا ضَرَبَ زَيْدٌ إِلَّا عَمْرًا
(yaitu meringkas pemukulannya zaid yang hanya dilakukan pada umar namun tidak membatasi pukulan yang mengenai umar karena tidak menutup kemungkinan yang  memukul pada umar adalah selain zaid).

(إنْ قَصْدٌ ظَهَرْ) maksudnya adalah : terkadang lafadz yang dihasr (mahsur) bisa mendahului lafadz yang tidak  dihasr (ghairu mahsur) ketika ma’na yang dikehendaki sudah jelas,seperti :
  مَا ضَرَبَ إِلَّا زَيْدٌ عَمْرًا     (tidak memukul pada umar kecuali hanya zaid )
مَا ضَرَبَ إِلَّا عَمْرًا زَيْدٌ        (zaid tidak memukul kecuali hanya pada umar)


FAEDAH
 Permasalahan ini dikhususkan pada adat hasr إلا  ,sedangkan ketika hasr menggunakan إنَّما   ,maka tidak boleh mendahulukan mahsur,karena mahsur tidak diketahui kecuali dengan diakhirkan. 

MARJI’NYA DHAMIR
وَشَـذَّ نَحْوُ زَانَ نَوْرُهُ الشَّجَـــــــرْ ۞ وَشَـــــاعَ نَحْوُ خَـــــافَ رَبَّـهُ عُمَرْ
Dan sudah masyhur susunan :  خَـــــافَ رَبَّـهُ عُمَرْ dan dihukumi syadz tarkib : زَانَ نَوْرُهُ الشَّجَـــــــرْ

Sudah masyhur (dalam lisan orang arab) mendahulukan maf’ul yang memuat dhamir yang kembali pada fa’il  yang berada diakhir ,seperti : خَافَ رَبَّهُ عُمَرُ (umar takut tuhannya)
Lafadz ربه adalah maf’ul yang memuat dhamir yang kembali pada fa’il yaitu : عُمَرُ
Diperbolehkannya tarkib diatas (yaitu dhamir yang kembali pada lafadz yang diakhirkan) karena fa’il didahulukan dari maf’ul secara kira-kira,karena asal dalam fa’il adalah sambung dengan fi’il maka posisi fa’il disini didahulukan secara pangkat (rutbah) dan diakhirkan secara lafadz.

(و شذ) dihukumi syadz kembalinya dhamir pada fa’il pada lafadz yang ada dibelakang secara lafadz dan urutan (maf’ul / متأخر لفظا و رتبة ) 
Seperti : زَانَ نَوْرُهُ الشَّجَرَ  (bunganya pohon menghiasi pohon)


FAEDAH
 Tarkib seperti زَانَ نَوْرُهُ الشَّجَرَ   dan sesamanya oleh mayoritas ulama’ nahwu tercegah baik dalam kalam natsar ataupun kalam syi’ir.
Dan ketika ditemukan tarkib yang dhahirnya demikian maka para ulama’ menta’wilnya.

نائب الفاعل
(Naibul Fa’il)

فِيْمَا لَـهُ كَنِيْــــلَ خَيْـــــرُ نَـائِـــــلِ ۞ يَنُوْبُ مَفْعُوْلٌ بِـهِ عَــنْ فَـاعِـــــلِ
Maf’ul bih mengganti dari fa’il dalam hukum yang ditetapkan bagi fa’il seperti contoh : نِيْــــلَ خَيْـــــرُ نَـائِـــــلِ
بِاْلآخِرِ اكْسِرْ فيِ مُضِــيٍّ كَوُصِلْ ۞ فَأَوَّلَ الْفِعْلِ اضْمُمَـــنْ وَ الْمُتَّصِلْ
Bacalah dhammah pada huruf permulaan fi’il ,dan bacalah kasrah pada huruf yang sambung dengan huruf akhir ,dalam fi’il madli seperti : وُصِلْ
كَيَنْتَحِي الْمَقُـــــوْلِ فِيْهِ يُنْتَحَـــــى ۞ وَ اجْعَلْهُ مِنْ مُضَـارِعٍ مُنْفَتِحَــــــا
Dan jadikanlah fathah pada (huruf yang sambung dengan huruf akhir) dari fi’il mudhari’ ,seperti : يَنْتَحِي  lafadz yang diucapkan  يُنْتَحَـــــى
كَاْلأَوَّلِ اجْعَلْــــــهُ بِلاَ مُنَازَعَــــــةْ ۞ وَالثَّانــــِيَ التَّـالِيَ تَـا الْمُطَاوَعَـــــةْ
Jadikanlah huruf kedua yang mengiring-iringi ta’ muthawwaah seperti huruf pertama dengan tanpa perdebatan.
كَاْلأَوَّلِ اجْعَلَـنَّــــــهُ كَاسْتُحْلـــــِيْ ۞ وَثَالِثَ الَّـذِيْ بِهَمْـــزِ الْوَصْــــــلِ
Dan jadikanlah huruf yang ketiga dari fi’il yang bersama hamzah washal seperti huruf pertama ,seperti contoh : اسْتُحْلـــــِيْ
عَيْنًــــا وَضَمٌّ جَا كَبُوْعَ فَاحْتُمِـــــلْ ۞ وَاكْسِرْ أَوَ اشْمِمْ فَا ثُلاَثِيٍّ  أُعِــــلّ
Bacalah kasrah ,bacalah isymam,fa’ finya fi’il tsulatsi yang dii’lal ain fi’ilnya
Dan bacalah dhammah seperti : بُوْعَ
وَ مَا لِبَــــاعَ قَدْ يُرَى لِنَحْـوِ حَـبّ ۞ وَإِنْ بِشَكْلٍ خِيْفَ لَبْسٌ يُجْتَنَـــبْ
Apabila dikhawatirkan serupa sebaab syakal maka jauhkanlah
Adapun hukum bagi lafadz بَــــاعَ  terkadang diterapkan pada lafadz حَـبّ
فيِ اخْتَــــارَ  وَانْقَـادَ وَشِبْهٍ يَنْجَلِيْ ۞ وَمَـا لِفَا بَاعَ لِمَا الْعَيْــــنُ  تَلـــــِيْ
Adapun hukum pada fa’nya lafadz بَاعَ  juga diperuntukkan untuk huruf yang diiringi a’in fi’il dalam lafadz اخْتَــــارَ   dan lafadz انْقَـادَ  yang serupa dengan keduanya

TERJEMAH TAQRIRAT  :
(فيما له) - Dari wajibnya rafa’
- Dari  wajibnya diakhirkan dari yang merafa’kannya dan
- Tidak diperbolehkannya membuang fa’il.
(كنيل خير نائل) dan زَيْدٌمَضْرُوْبٌ غُلَامُهُ
(فأول الفعل) yang fa’ilnya dibuang
(أضممن) samahalnya fi’il madli atau fi’il mudhari’.
(كالأول إجعله) seperti : تُعُلِّمَ الْعِلْمُ  dan تُدُحْرِجَ فِي الدَّارِ  karena kalau tidak dibaca dhammah akan serupa dengan mudhari’ mabni fa’il.
(كالأول إجعلنه) supaya tidak serupa dengan amar dalam sebaagian keadaan
(أو إشمم) yaitu membaca fa’ dengan harakat diantara dhammah dan kasrah ,seperti : بيْع  dan قيْل
(و إن بشكل) dan syakal-syakal terdahulu.
(خيف لبس) antara fi’ilnya fa’il daan fi’ilnya maf’ul
(يجتنب) seperti باع  maka diucapkan : بِعْتُ  dengan dibaca dhammah atau hanya isymam supaya tidak terjadi keserupaan dengan fi’ilnya fa’il ,karena fi’ilnya fa’il dibaca kasrah saja.
Dan seperti : سام  dari mashdaar السَّوْم  yang diucapkan سمْتُ  dengan dibca kasrah atau isymam saja ,supaya tidak serupa dengan fi’ilnya fa’il karena dibaca dhammah.
(و ما لفا باع) dan bolehnya untuk dibaca dhammah kasrah dan iysmam.
(في إختار و إنقاد) ketika dimabnikan maf’ul seperti : إخْتِيْرَ  dan إنْقِيْدَ dan أخْتُوْرَ  dan أنْقُوْدَ

Keterangan :
PENGGANTI FA’IL/ NAIBUL FA’IL

فِيْمَا لَـهُ كَنِيْــــلَ خَيْـــــرُ نَـائِـــــلِ ۞ يَنُوْبُ مَفْعُوْلٌ بِـهِ عَــنْ فَـاعِـــــلِ
Maf’ul bih mengganti dari fa’il dalam hukum yang ditetapkan bagi fa’il seperti contoh : نِيْــــلَ خَيْـــــرُ نَـائِـــــلِ
Ketika fa’il dibuang dan ditempatkanlah maf’ul bih dalam tempatnya fa’il (sebagai gantinya) maka diberikan kepada maf’ul hukum yang dimiliki fa’il,seperti:
- Wajib dibaca rofa’
- Wajib diakhirkan  dari amil yang merofa’kan
- Tidak boleh dibuang
Seperti contoh : نِيْلَ  خَيْرُ نَائِلٍ
Lafadz adalah maf’ul yang menempati tempatnya fa’il karena asalnya adalah : نَالَ زَيْدٌ خَيْرَ نَائِلٍ  kemudian fa’il dibuang yaitu lafadz زَيْدٌ  menjadi   نال  خَيْرَ نَائِلٍ   kemudian ditempatkannya maf’ul dalam tempatnya fa’il yaitu خَيْرَ نَائِلٍ   maka menjadi : نِيْلَ  خَيْرُ نَائِلٍ   

Dan lafadz خَيْرُ نَائِلٍ   diberikan hukum-hukum yang dimiliki oleh lafadz زيدٌ (fa’il) yaitu :
- Lafadz خَيْرُ نَائِلٍ   wajib dibaca rafa’ yang semula dibaca nashab .
- Lafadz خَيْرُ نَائِلٍ    Wajib diakhirkan yang semula tidak wajib
- Lafadz خَيْرُ نَائِلٍ    tidak boleh dibuang.

Catatan  :
- Tidak boleh mendahulukan naibul fa’il,maka tidak bisa diucapkan خَيْرُ نَائِلٍ نِيْلَ dengan menjadikannya tarkib naibul fa’il malah akan menjadi tarkib mubtada’.

FAEDAH
 Tujuan dibuangnya fa’il adalah :
1. Adakalanya tujuan secara secara lafdzi ,diantaranya :
a. Meringkas kalam
Seperti : فَعَاقِبُوْا بِمِثْلَ عُوْقِبْتُمْ
Balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan pada kamu semua
b. Menyesuaikan sajak / irama
Seperti : مَنْ طَابَتْ سَرِيْرَتُهُ حُمِدَتْ سِيْرَتُهُ
Orang yang hatinya baik maka terpujilah perbuatannya
2. Tujuan secara ma’na diantaranya :
a. Fa’il sudah diketahui :
وَ خُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيْفًا (النساء 28)

(Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah)(Annisa’ 28)
b. Karena tidak diketahui :
Seperti :
سُرِقَ الْمَتَاعُ
(Harta itu dicuri)
Dll.
 Lafadz نَائِلٍ    adalah isim mashdar yang mempunyai makna نَوَّال   artinya pemberian العَطَاء.


MEMBUAT FI’IL MABNI MAF’UL

بِاْلآخِرِ اكْسِرْ فيِ مُضِــيٍّ كَوُصِلْ ۞ فَأَوَّلَ الْفِعْلِ اضْمُمَـــنْ وَ الْمُتَّصِلْ
Bacalah dhammah pada huruf permulaan fi’il ,dan bacalah kasrah pada huruf yang sambung dengan huruf akhir ,dalam fi’il madli seperti : وُصِلْ
كَيَنْتَحِي الْمَقُـــــوْلِ فِيْهِ يُنْتَحَـــــى ۞ وَ اجْعَلْهُ مِنْ مُضَـارِعٍ مُنْفَتِحَــــــا
Dan jadikanlah fathah pada (huruf yang sambung dengan huruf akhir) dari fi’il mudhari’ ,seperti : يَنْتَحِي  lafadz yang diucapkan  يُنْتَحَـــــى

1. Fi’il madli
Fi’il madli yang tsulatsi maupun ruba’i yang tidak dimulai dengan ta’ dan hamzah washal caranya adalah membaca dhammah huruf permulaan dan membaca kasrah huruf sebelum akhir.

فَعَلَ Menjadi فُعِلَ وَصَلَ Menjadi وُصِلَ
فَعْلَلَ Menjadi فُعْلِلَ دَحْرَجَ Menjadi دُحْرِجَ
فَعَّلَ Menjadi فُعِّلَ فَرَّحَ Menjadi فُرِّحَ
أَفْعَلَ Menjadi أُفْعِلَ أَكْرَمَ Menjadi أَكْرِمَ
فَاعَلَ Menjadi فُوْعِلَ قَاتَلَ Menjadi قُوْتِلَ

2. Fi’il mudhari’

يَفْعُلُ Menjadi يُفْعَلُ يَنْصُرُ Menjadi يُنْصَرُ
يُفَعْلِلُ Menjadi يُفَعْلَلَ يُدَحْرِجُ Menjadi يُدَحْرَجُ
يُفَعِّلُ Menjadi يُفَعَّلُ يُفرِّحُ Menjadi يُفَرَّحُ
يُفْعِلُ Menjadi يُفْعِلَ يُكْرِمُ Menjadi يُكْرَمُ
يُفَاعِلُ Menjadi يُفَاعَلُ يُقَاتِلُ Menjadi يُقَاتَلُ

Madlinya dimulai dengan ta’
يَتَفَعَّلُ Menjadi يُتَفَعَّلُ يَتَكَسَّرُ Menjadi يُتَكَسَّرُ
يَتَفَاعَلُ Menjadi يُتَفَاعَلُ يَتَبَاعَدُ Menjadi يُتَبَاعَدُ
يَتَفَعْلَلُ Menjadi يُتَفَعْلَلُ يَتَدَحْرَجَ Menjadi يُتَدَحْرَجُ

Dimulai dengan hamzah washal
يَفْتَعِلُ Menjadi يُفْتَعَلُ إجْتَمَعَ Menjadi إجْتُمِعَ
يَنْفَعِلُ Menjadi يُنْفَعَلُ يَنْكَسِرُ Menjadi يُنْكَسَر
يَسْتَفْعِلُ Menjadi يُسْتَفْعَلُ يَسْتَخْرِجُ Menjadi يُسْتَخْرَجُ

Dan ini yang dimaksud mushannif dengan contoh fi’il madli dan contoh fi’il mudhari’: يَنْتَحي  menjadi يُنْتَحَيْ

FAEDAH
 Bedanya amil fa’il dan amil Naibul fa’il ,amilnya fa’il bisa dirafa’kan dengan :
- Fi’il asli
- Isim fi’il
- Isim fa’il
- Dharaf
- Amtsilatul mubalaghah
- Jamid  yang dita’wil musytaq

Kalau naibul fa’il dirafa’kan dengan :
- fi’il yang sudah dirubah
- Isim maf’ul
Dan terdapat beberapa qaul tentang mashdar yang dita’wil dengan dan fi’il.
 Lafadz نِيْلَ  dibaca dhammah huruf pertama dan kasrah huruf sebelum akhir,akan tetapi hanya dalam taqdirnya saja (kira-kira).

كَاْلأَوَّلِ اجْعَلْــــــهُ بِلاَ مُنَازَعَــــــةْ ۞ وَالثَّانــــِيَ التَّـالِيَ تَـا الْمُطَاوَعَـــــةْ
Jadikanlah huruf kedua yang mengiring-iringi ta’ muthawwaah seperti huruf pertama dengan tanpa perdebatan.
كَاْلأَوَّلِ اجْعَلَـنَّــــــهُ كَاسْتُحْلـــــِيْ ۞ وَثَالِثَ الَّـذِيْ بِهَمْـــزِ الْوَصْــــــلِ
Dan jadikanlah huruf yang ketiga dari fi’il yang bersama hamzah washal seperti huruf pertama ,seperti contoh : اسْتُحْلـــــِيْ

1. Fi’il madli yang dimulai dengan ta’
Fi’il ini dibaca dhammah huruf pertama dan dibaca dhammah pula huruf kedua kemudian huruf sebelum akhir dibaca kasrah,seperti :
تَفَعَّلَ Menjadi تُفُعِّلَ تَكَسَّرَ Menjadi تُكُسِّرَ
تَفَاعَلَ Menjadi تُفُوْعِلَ تَبَاعَدَ Menjadi تُبُوْعِدَ
تَفَعْلَلَ Menjadi تُفُعْلِلَ تَدَحْرَجَ Menjadi تُدُحْرِجَ

Dan ini yang dimaksud mushanif dengan :
2. Fi’il madli yang dimulai dengan hamzah washal
Fi’il ini dibaca dhammah huruf pertama dan dibaca dhammah pula huruf urutan yang ketiga dan kemudian huruf sebelum akhir dibaca kasrah,seperti :

إُفْتُعِلَ Menjadi إُفْتُعِلَ إُجْتُمِعَ Menjadi إُجْتُمِعَ
إُنْفُعِلَ Menjadi إُنْفُعِلَ إُنْكُسِرَ Menjadi إُنْكُسِرَ
إُسْتُفْعِلَ Menjadi إُسْتُفْعِلَ إُسْتُخْرِجَ Menjadi إُسْتُخْرِجَ
إُفْعُلِلَّ Menjadi إُفْعُلِلَّ إُقْشُعِرَّ Menjadi إُقْشُعِرَّ
إُفْعُنْلِلَ Menjadi إُفْعُنْلِلَ إُقْعُنْسِسَ Menjadi إُقْعُنْسِسَ

FAEDAH
 Jika fi’ilnya terdiri  dari fi’il tsulatsi yang mudhaaf ,seperti : مَدَّ  dan شَدَّ  maka mayoritas ulama’ mewajibkan dhammah huruf pertamanya (fa’ fi’ilnya),menjadi مُدَّ  dan شُدَّ 
Dan sebagian ulama’ kufah membolehkan dibaca kasrah : رَدَّ   menjadi رِدَّ 
Dan ibnu malik membolehkan untuk dibaca isymam.
 Ta’ muthaawa’ah adalah ta’ yang menerima hasil / bekas suatu pekerjaan,seperti : كَسَّرْتُهُ فَتَكَسَّرَ .

FI’IL MU’TAL ‘AIN MABNI MAF’UL

عَيْنًــــا وَضَمٌّ جَا كَبُوْعَ فَاحْتُمِـــــلْ ۞ وَاكْسِرْ أَوَ اشْمِمْ فَا ثُلاَثِيٍّ  أُعِــــلّ
Bacalah kasrah ,bacalah isymam,fa’ finya fi’il tsulatsi yang dii’lal ain fi’ilnya
Dan bacalah dhammah seperti : بُوْعَ
Ketika fi’il madli tsulatsi yang mu’tal ‘ain dimabnikan maf’ul maka cara membaca fa’ fi’ilnya terdapat 3 cara baca :
1. Ikhlasul kasri (murni kasrah)
Seperti : قِيْلَ
Asalnya Lafadz قِيْلَ  adalah قُوِلَ  mengikuti wazan فُعِلَ  harakat wawu dipindah pada huruf sebelumnya yaitu qaf (tentunya setelah menghilangkan harakat terlebih dahulu) maka menjadi : قِوْلَ  kemudian wawu diganti ya’ karena wawu disukun dan jatuh setelah kasrah ,maka menjadi : قِيْل
Dan lafadz بِيْعَ  asalnya adalah بُيِعَ  harakat ya’ dipindah pada huruf sebelumnya yaitu ba’ (tentunya setelah menghilangkan harakat terlebih dahulu)  ,menjadi : بِيْعَ
2. Ikhlasud dhammi (murni dhammah)
Ini adalah lughatnya dhubair dan bani faqas dan ini adalah lughat yang lemah karena berkumpulnya wawu dan dhammah ,seperti :
قُوْلَ
Yang asalnya adalah : قُوِلَ  harakatnya wawu dibuang dan wawu ditetapkan menjadi : قُوْلَ
Dan بُوْعَ
Yang asalnya adalah : بُيِعَ  harakatnya ya’ dibuang menjadi بُيْعَ  ,kemudian ya’ diganti menjadi wawu menjadi : بُوْعَ
3. Isymam
Ini adalah lughat yang fasih ,karena ringan ,akan tetapi bukan lughat yang paling fasih / afshah jarena masih terdapat campuran dengan dhammah :
Sedangkan isymam adalah :
وَ هُوَ الْإِتْيَانُ بِالْفَاءِ بِحَرَكَةٍ بَيْنَ الضَّمِّ وَ الْكَسْرِ وَ لَا يَظْهَرُ إِلَّا فِي اللَّفْظِ
Yaitu mengucapkan fa’ dengan harakat antara dhammah dan kasrah

Caranya adalah mengucapkan dhammah sebentar kemudian mengucapkan kasrah secara banyak dan murni suara yang diucapkan adalah suara ya’.

FAEDAH
 Contoh dalam alquran :
وَ قِيْلَ يَآرْضُ إبْلَعِي مَاءَكِ وَ يَسَمَاءُ أَقْلِعِي وَ غِيْضَ الْمَاءُ (هود 44)
Dan difirmankan : Hai bumi telanlah airmu dan hai langit  (hujan) berhentilah dan airpun disurutkan. (Hud 4).
 (و إكسر) Maksudnya adalah dibaca dhammah huruf pertama dan kasrah huruf sebelum akhir maka menjadi : قُوِلَ  ketika harakat kasrah dianggap berat terhadap wawu maka dipindah kepada huruf sebelumnya ,menjadi قِوْلَ  kemudian wawu diganti ya’ karena jatuh setelah kasrah ,maka menjadi : قِيْلَ .


MENGHINDARI KESERUPAAN
وَ مَا لِبَــــاعَ قَدْ يُرَى لِنَحْـوِ حَـبّ ۞ وَإِنْ بِشَكْلٍ خِيْفَ لَبْسٌ يُجْتَنَـــبْ
Apabila dikhawatirkan serupa sebaab syakal maka jauhkanlah
Adapun hukum bagi lafadz بَــــاعَ  terkadang diterapkan pada lafadz حَـبّ


Jika fi’il tsulasi yang mu’tal ‘ain (setelah dimabnikan maf’ul) disandarkan pada dlomir mutakallim mukhatab atau ghoib,maka perinciannya sebagai berikut
- Jika ‘ain fi’ilnya mu’tal waawu
Maka menurut mushonnif wajib dibaca kasroh fa’nya dan isymam seperti صَانَ ؛ صَوَنَ  ketika dimabnikan maf’ul menjadi صُوِنَ  disandarkan pada dhamir mutakallim  menjadi صِنْتُ  dan tidak boleh diucapk  dengan dlommah menjadi صُنْتُ  karena akan serupa dengan fi’il mabni fa’ilnya yang menggunakan dlommah (صُنْتُ)
- Jika ‘ain fi’ilnya beripa ya’
Maka menurut mushonnif wajib membaca dlommah fa’nya dan isymam seperti : بُيِعَ  menjadi بُعْتُ  ketika dimabnikan maful tidak boleh diucapkan dengan kasroh بِعْتُ  karena akan serupa dengan fi’il mabni fa’ilnya yang menggunakan kasroh (بِعْتُ)
Kesimpulannya: dalam bait sebelumnya fa’ fi’il bisa dibaca 3 wajah kasroh ,dlommah atau isymam ,akan tetapi ketika nantiya menimbulkan keserupaan(dengan mabni fa’il) maka harokat yang menimbulkan keserupaan tidak dipakai (dihindari).
(و ما لباع قد يرى لنحو حب) Hukum-hukum yang terdapat dalam fa’ fi’ilnya بَاعَ  (isymam, kasroh dlommah) terkadang juga terdapat pada fi’il mudho’af ,seperti : مَدَّ  bisa dibaca مُدَّ ؛ مِدَّ  dan jika kamu menghendaki bacalah isymam .


FAEDAH
 Dalam bait ini diwajibkan menghindari keserupaan,dan imam sibawaih tidak menjelaskan kewajiban itu, bahkan oleh imam sibawaih bisa dibaca dengan 3 wajah secara muthlaq, tanpa memandang keserupaan ,karena seperti halnya lafadz مُحْتَاج   yang terdapat iltibas antara isim fa’il dan isim maf’ul,akan tetapi menurut qoul yang paling unggul lebih baik ijtinab (menghindari keserupaan).


MU’TAL ‘AIN WAZAN DAN

فيِ اخْتَــــارَ  وَانْقَـادَ وَشِبْهٍ يَنْجَلِيْ ۞ وَمَـا لِفَا بَاعَ لِمَا الْعَيْــــنُ  تَلـــــِيْ
Adapun hukum pada fa’nya lafadz بَاعَ  juga diperuntukkan untuk huruf yang diiringi a’in fi’il dalam lafadz اخْتَــــارَ   dan lafadz انْقَـادَ  yang serupa dengan keduanya

Bagi fi’il ‘ain yang mengikuti wazan dan ketika dijadikan maf’ul maka diperbolehkan membaca 3 wajah, yaitu :
1. Kasroh
Seperti

إِخْتَارَ Dibaca إخْتِيْرَ
إنْقَادَ Dibaca إنْقِيْدَ
إحْتَاجَ Dibaca إحْتِيْجَ

2. Dhammah
Seperti :

إِخْتَارَ Dibaca إخْتُوْرَ
إنْقَادَ Dibaca إنْقُوْدَ
إحْتَاجَ Dibaca إحْتُوْجَ

3. Isymam
Seperti :

إِخْتَارَ Dibaca إخْتِيْرَ
إنْقَادَ Dibaca إنْقِيْدَ
إحْتَاجَ Dibaca إحْتِيْجَ.

(وَ شِبْهٍ يَنْجَلِي) yaitu setiap fi’il / lafadz yang mu’tal ain yang mengikuti wazan إفْتَعَلَ   atau إنْفَعَلَ  seperti :     إنْقَادَ ؛ إحْتَاجَ

FAEDAH
 Menurut imam Syatibi : tidak hanya mu’tal ain yang bisa dibaca tiga wajah,akan tetapi bina’ mudha’af juga bisa dibaca tiga wajah dengan urutan :

-   Dhammah     أُشْتُدَّ
- Isymam إِشْتِدَّ
- Kasrah إِشْتِدَّ.

 Hamzah washal dalam bab ini diharakati sama dengan huruf sebelum ain fi’il ,seperti :

- Kasrah      إخْتِيْرَ
- Dhammah إخْتُوْرَ
- Isymam إخْتِيْرَ.


أَوْ حَرْفِ جَــــــرٍّ بِنِيَابَةٍ حَــــرِيّ ۞ وَقَابِلٌ مِنْ ظَرْفٍ أَوْ مِنْ مَصْــدَرِ
Dan yang patut menjadi ganti dari fa’il adalah dharaf ,mashdar atau huruf jar (jar majrur)
فيِ اللَّفْظِ مَفْعُوْلٌ بِـهِ وَقَدْ يَـــــرِدْ ۞ وَلاَ يَنُوْبُ بَعْضُ هَذِيْ إِنْ وُجِـدْ
Dan sebagian diatas tidak bisa mengganti fa’il ketika dalam lafadz masih ditemukan maf’ul bih dan terkadang berlaku (penggantian yang demikian itu)
بَابِ كَسَا فِيْمَا الْتِبَاسُهُ أُمِــــــــنْ ۞ وَبِاتِّفَاقٍ قَدْ يَنُــوْبُ الثَّانِ مِـــــنْ
Dan sesuai kesepakatan ulama’ terkadang lafadz yang kedua mengganti dari babnya lafadz
Didalam keadaan yang aman dari keserupaan.
وَلاَ أَرَى مَنْعًا إِذَا الْقَصْدُ ظَهَـــــرْ ۞ فيِ بَابِ ظَنَّ وَأَرَى اْلمَنْعُ اشْتَهَــرْ
Dalam babnya ظَنَّ  dan أَرَى  sudah masyhur tercegah untuk dibuat ganti
Dan saya (ibnu malik) tidak melihat tercegahnya itu,ketika tujuannya jelas.
بِالرَّافِعِ النَّصْــــــبُ لَـهُ مُحَقَّقَــــــا ۞ وَمَـا سِوَى النَّائِبِ مِمَّــا عُلِّقَــــــا
Adapun selain yang mengganti lafadz yang dibaca rafa’ yaitu lafadz –lafadz yang pantas menjadi naibul fa’il
Maka nashablah yang berhak.

TERJEMAH TAQRIRAT  :
(و قابل من ظرف) ketika dharaf itu berupa dharaf yang muttasharif dan mukhtas atau ghairu mukhtas akan tetapi fi’ilnya diqayyidi dengan ma’mul yang lain.
(أو من مصدر) ketika mashdar itu muttasharif dan bukan hanya sekedar mentaukidi
(أو حرف جر) beserta majrurnya dengan gambaran ketika huruf jar tidak taaluq dengan lafadz yang dibuang dan tidak ilat
(بنيابة حري) seperti :
سِيْرَ يَوْمُ السَّبْتِ
سِيْرَ بِزَيْدٍ يَوْمٌ
ضُرِبَ ضَرْبٌ شَدِيْدٌ
لمَّا سُقِطَ فِي  أَيْدِيْهِمْ (الأعراف 149)
(و قد يرد) seperti dalam firman Allah Ta’ala menurut qiraahnya imam ja’far
لِيَجْزِيَ قَوْمًا بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ (الجاثية 14)
Karena Dia akan membalas suatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan
(من باب كسا) setiap fi’il yang menashabkan dua maf’ul yang asal dari keduanya tidak mubtada’ dan khabar dan salah satunya tidak dinashabkan dengan menggunakan huruf jar.
(فيما إلتباسه أمن) seperti : كُسِيَ زَيْدًا جُبَّةٌ
(في باب ظن و أرى) yang mutaadi pada 3 maf’ul 
(المنع) menempatkan kedua dan wajib menempatkan yang pertama
(إشتهر) dari kebanyakan ulama’ nahwu karena maf’ul menyerupai mubtada’ dan maf’ul lebih menyerupai fa’il karena derajat mubtada’ sebelum maf’ul yang kedua karena derajatnya mubtada’ sebelum khabar ,dan derajatnya marfu’ sebelum manshub,dan semua itu dilakukan karena untuk memunashabahkan ,maka tidak boleh diucapkan : ظُنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
(إذا القصد) dan tidak berupa  jumlah dan tidak berupa dharaf,seperti : ظُنَّ زَيْدًا قَائِمٌ
(النصب له محققا) secara lafadz apabila yang dimaksud selain naibul fa’il adalah jar majrur ,seperti :
ضُرِبَ زَيْدٌ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَمَامَكَ ضَرْبًا شَدِيْدًا
Zaid dipukil pada hari jum’at didepan kamu dengan pukulan yang keras

Dan secara mahal kalaupun ada seperti :
فإذَا نُفِخَ فِي الصُّوْرِ نَفْخَةٌ وَاحِدَةٌ (الحاقة 13) 
Maka apabila sangkakala ditiup dengan sekali tiup


Keterangan :
PENGGANTI FA’IL/ NAIBUL FA’IL

أَوْ حَرْفِ جَــــــرٍّ بِنِيَابَةٍ حَــــرِيّ ۞ وَقَابِلٌ مِنْ ظَرْفٍ أَوْ مِنْ مَصْــدَرِ
Dan yang patut menjadi ganti dari fa’il adalah dharaf ,mashdar atau huruf jar (jar majrur)
فيِ اللَّفْظِ مَفْعُوْلٌ بِـهِ وَقَدْ يَـــــرِدْ ۞ وَلاَ يَنُوْبُ بَعْضُ هَذِيْ إِنْ وُجِـدْ
Dan sebagian diatas tidak bisa mengganti fa’il ketika dalam lafadz masih ditemukan maf’ul bih dan terkadang berlaku (penggantian yang demikian itu)

Lafadz yang bisa dijadikan naibul fail adalah :
1. Dharaf ,bisa dijadikan naibul fail dengan dua syarat,yaitu :
a. Dharaf yang mutasharif seperti contoh : سِيْرَ يَوْمُ الجمعة
Apabila dharafnya ghairu mutasharif yaitu dharaf yang selalu ditarkib dharfiyah dan dibaca nashab maka tidak boleh menjadi naibul fail.
Seperti : lafadz سحرا  maka tidak boleh dikatakan : رُكِبَ سَحَرٌ
Dan juga lafadz عندك  maka tidak boleh diucapkan جُلِسَ عِنْدَكَ
b. Dharaf yang mukhtas yaitu dharaf yang maknanya ditentukan adakalanya ditentukan dengan idhafah,sifat atau alamiayh
Seperti contoh : سِيْرَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ ؛ جُلِسَ أَمَامُكَ ؛ حُضِرَ يَوْمٌ مباركٌ
Apabila dharafnya ghairu mukhtas maka tidak boleh dijadikan naibul fail,maka tidak boleh diucapkan : سِيْرَ وَقْتٌ

2. Mashdar bisa dijadikan naibul fail dengan dua syarat,yaitu :
a. Mashdar mutasharif yaitu mashdar yang tidak selalu dibaca nashab seperti : ضُرِبَ ضَرْبٌ شَدِيْدٌ
b. Mashdar mukhtas yaitu mashdar yang menunjukkan hitungan amil atau nau’nya amil.
Seperti contoh : ضُرِبَ ضَرْبَاتٌ
Jika mashdarnya ghairu mukhtas seperti mashdar yang mentaukidi ,maka tidak boleh dijadikan naibul fail : ضرب زيد ضربًا  maka tidak boleh diucapkan : ضُرِبَ ضربٌ 
3. Jar majrur bisa dijadikan naibul fail dengan tiga syarat,yaitu :
a. Mukhtas yaitu ketika majrurnya ma’rifat
b. Huruf jarnya tidak menetapi cara tertentu
c. Huruf jarnya tidak menunjukkan makna ta’lil
Seperti contoh : سيْرَ بِزَيْدٍ

Berkumpulnya naibul fail
Mengikuti madzhabnya ulama’ bashrah kecuali Akhfasy ketika ditemukan setelah fiil mabni maful maful bih ,mashdar dharaf dan jar majrur maka yang bisa menjadi naibul fail adalah maful bih seperti :
ضَرِبَ زَيْدٌ ضَرْبًا شَدِيْدًا أَمَامَ الْأَمِيْرِ فِي دَارِهِ
Zaid dipukuldengan pukulan yang keras didepan raja dirumahnya

NAIBUL FA’IL BERUPA MAFUL KEDUA

بَابِ كَسَا فِيْمَا الْتِبَاسُهُ أُمِــــــــنْ ۞ وَبِاتِّفَاقٍ قَدْ يَنُــوْبُ الثَّانِ مِـــــنْ
Dan sesuai kesepakatan ulama’ terkadang lafadz yang kedua mengganti dari babnya lafadz
Didalam keadaan yang aman dari keserupaan.
وَلاَ أَرَى مَنْعًا إِذَا الْقَصْدُ ظَهَـــــرْ ۞ فيِ بَابِ ظَنَّ وَأَرَى اْلمَنْعُ اشْتَهَــرْ
Dalam babnya ظَنَّ  dan أَرَى  sudah masyhur tercegah untuk dibuat ganti
Dan saya (ibnu malik) tidak melihat tercegahnya itu,ketika tujuannya jelas.




HUKUM NASHAB PADA SELAIN NAIBUL FAIL
بِالرَّافِعِ النَّصْــــــبُ لَـهُ مُحَقَّقَــــــا ۞ وَمَـا سِوَى النَّائِبِ مِمَّــا عُلِّقَــــــا
Adapun selain yang mengganti lafadz yang dibaca rafa’ yaitu lafadz –lafadz yang pantas menjadi naibul fa’il
Maka nashablah yang berhak.

Membaca nashab hukumnya wajib yang terletak pada semua ma’mul yang berhubungan dengan naibul fail ,selain naibul fail,dan ma’mul selain naibul fail mencakup,dharaf makan,zaman,mashdar hal  , tamyiz maful lah dan maful maah ,
Seperti contoh : أُعْطِيَ زَيْدٌ دِرْهَمًا يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَمَامَ زَيْدٍ إِعْطَاءً 

FAEDAH
Imam ibnu malik dalam kitab kafiyah berkata :
و رفعَ مَفْعُوْلٍ بِهِ لَا يَلْتَبِسْ   * مَعْ نَصْبِ فَاعِلٍ رَوَوْا فَلَا تَقِسْ
Ulama’ meriwayatkan membaca rafa’ maful bih tanpa ada keserupaan beserta membaca nashab fa’il dan tidak boleh diqiyaskan
Seperti contoh : خرق الثوبُ المسمارَ
Paku itu merobek baju

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofiyullah Alkahfi alfiyah bab maful mutlaq

Shofiyullah alkahfi alfiyah bab tanazu'