Siapa bilang pacaran haram (haram banget kalee)


Al Hijroh
Usaha Menggali Warisan Para Nabi Alaihimush Sholatu was Salam

Siapa Bilang Pacaran Haram ??
ِبْسِم اϗِȡ الȡرْحَمِن الȡرِحيِم
Siapa Bilang Pacaran Haram ??
Segala puji hanya milik Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya kepadaNya kita memuji, meminta tolong, memohon
ampunan, bertaubat dan memohon perlindungan atas kejelekan-kejelekan diri dan amal-amal yang buruk.

Pa ca ran
Adalah suatu hal yang telah menyebar luas dikalangan masyarakat sebuah kebiasaan yang terlarang dalam
islam namun sadar tak sadar telah menjadi suatu hal yang sangat sering kita lihat bahkan sebahagian orang
menganggapnya adalah suatu hal yang boleh-boleh saja, kebiasan tersebut adalah apa yang disebut
sebagai pacaran. Oleh karena itu maka penulis mencoba untuk memaparkan sedikit tinjauan islam tentang
hal ini dengan harapan penulis dan pembaca sekalian dapat memahami bagaimana islam memandang
pacaran serta kemudian dapat menjauhinya.
Pacaran yang dikenal secara umum adalah suatu jalinan hubungan cinta kasih antara dua orang yang
berbeda jenis yang bukan mahrom dengan anggapan sebagai persiapan untuk saling mengenal sebelum
akhirnya menikah[1].
Inilah mungkin definisi pacaran yang banyak tersebar dikalangan muda-mudi. Maka atas dasar inilah
kebanyakan orang menganggap bahwa hal ini adalah suatu yang boleh-boleh saja, bahkan lebih parahnya
lagi dianggap aneh kalau menikah tanpa pacaran terlebih dahulu –wal ‘iyyadzubillah –. Lalu jika demikian
bagaimanakah tinjauan islam tentang hal ini? Berikut penulis coba jelaskan sedikit kepada pembaca –
sesuai dengan ilmu yang sampai kepada penulis– bagaimana islam memandang pacaran.
Pacaran adalah suatu yang sudah jelas keharamannya dalam islam, dalil tentang hal ini banyak sekali
diantaranya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla :
َولاََتْقَرُبوا الȣزَناȫاȡنُه كَاَنَفاِحَشًةَوَساَءَسِبيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan seburuk-
buruk jalan”. (Al Isra’ [17] : 32).
Ayat ini adalah dalil tegas yang menunjukkan haramnya pacaran.
Berkaitan dengan ayat ini seorang ahli tafsir Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah-
mengatakan dalam tafsirnya,
“Larangan mendekati suatu perbuatan nilainya lebih daripada semata-mata larangan melakukan suatu
perbuatan karena larangan mendekati suatu perbuatan mencakup larangan seluruh hal yang dapat
menjadi pembuka/jalan dan dorongan untuk melakukan perbuatan yang dilarang”.
Kemudian Beliau –rahimahullah- menambahkan sebuah kaidah yang penting dalam hal ini,
“Barangsiapa yang mendekati suatu perbuatan yang terlarang maka dikhawatirkan dia terjatuh pada suatu
yang dilarang”[2].
Hal senada juga sebelumnya dikatakan penulis Tafsir Jalalain demikian juga Asy Syaukani –rahimahullah-
namun Beliau menambahkan, “Jika suatu yang haram itu telah dilarang maka jalan menuju keharaman
tersebut juga dilarang dengan melihat maksud pembicaran”[3]. Bahkan diakatakan oleh Syaikh Muhammad
bin Sholeh Al ‘Utsaimin –rahimahullah-, “termasuk dalam ayat ini larangan melihat wanita yang bukan
istrinya (yang tidak halal baginya, pen.), mendengarkan suaranya, menyentuhnya, sama saja apakah ketika
itu dia sengaja untuk bersenang-senang dengannya ataupun tidak”[4]. Dari penjelasan para ulama ini
jelaslah bahwa pacaran dalam islam hukumnya haram karena pacaran termasuk dalam perkara menuju zina
yang Allah haramkan ummat nabiNya untuk mendekatinya.
Jika ada yang mengatakan bahwa pacaran belumlah dapat dikatakan sebagai perbuatan menuju zina, maka
kita katakan kepadanya bukankah orang yang paling tahu tentang perkara yang dapat mendekatkan
ummatnya ke surga dan menjauhkannya dari api neraka telah mengatakan :
َو اْحَفُظْواُفُرْوَجكُْمَوَغȢضْواȦاْبَصاَركُْمَو كَȢفْواȦاْيِدَيكُْم
“Jagalah kemaluan kalian, tundukkanlah pandangan-pandangan kalian dan tahanlah tangan-tangan kalian”.
[5]
Dalam hadits yang mulia ini terdapat perintah untuk menundukkan pandangan dan
hukum asal dari suatu perintah baik itu perintah Allah ‘Azza wa Jalla ataupun perintah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah wajib dan adanya tunututan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dengan
segera[6].
Maka jelaslah bahwa pacaran adalah suatu yang diharamkan dalam islam.
Kemudian jika ada yang mengatakan kalau seandainya pacaran tidak dibolehkan maka bagaimanakah dua
orang insan bisa menikah padahal mereka belum saling kenal?
Maka kita katakan pada orang yang beralasan demikian dengan jawaban yang singkat namun tegas
bukankah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk? Bukankah
Beliau adalah orang yang paling kasih kepada ummatnya tidak memberikan petunjuk yang demikian?
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لََقْدَجاَءكُْمَرُسوٌلِمْنȦاْنُفِسكُْمَعِزيٌزَعلَْيِهَماَعِنȢتْمَحِريٌصَعلَْيكُْمِباْلُمْؤِمِنيَنَرُءوٌفَرِحيٌم
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, amt berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (At Taubah [9] : 128).
Kata مُْيكَْعلَصٌريِحَpada ayat di atas ditafsirkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah-
berarti bahwa, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mencintai kebaikan kepada kita
ummatnya, mengerahkan seluruh kesungguhannya dalam rangka menyampaikan kebaikan kepada mereka,
bersemangat untuk dapat memberikan hidayah (irsyad, pent.) berupa iman kepada mereka, tidak suka jika
kejelekan menimpa mereka dan menegerahkan seluruh usahanya untuk menjauhkan mereka dari
kejelekan”[7]. Dengan demikian ayat di atas jelas menunjukkan bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang paling kasih pada ummatnya dan paling menginginkan kebaikan untuk mereka namun
Beliau tidaklah mengajarkan kepada ummatnya yang demikian. Simak pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
ȫاȡنُه لَْمَيكُْنَنِبȞىَقْبِلىȫالاȡ كَاَنَحȠقاَعلَْيِهȦاْنَيُدȡلȨاȡمَتُهَعلَىَخْيِرَماَيْعلَُمُه لَُهْمَوُيْنِذَرُهْمَشȡرَماَيْعلَُمُه
“Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumku kecuali wajib baginya menunjukkan kepada umatnya kebaikan
yang dia ketahui untuk umatnya, dan mengingatkan semua kejelekan yang dia ketahui bagi umatnya…”.[8]
Maka hendak kemanakah lari orang yang berpendapat kalau seandainya pacaran tidak dibolehkan maka
bagaimanakah dua orang insan bisa menikah padahal mereka belum saling kenal? Bukankah Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan dan mempraktekkan bagaimana tatacara menuju
pernikahan? Apakah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada kita cara mencari
pasangan hidup dengan pacaran? Wahai pengikut hawa nafsu hendak kemanakah lagi engkau palingkan
sesuatu yang telah jelas dan gamblang ini ??!!!
Kalau seandainya yang demikian dapat mengantarkan kepada kebaikan tentulah Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengajarkannya kepada kita.
Sebagai penutup kami nukilkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang posisi shaf laki-laki dan
perempuan dalam sholat, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :
َخْيُرُصُفوِف الȣرَجاِلȦاȡوُلَهاَوَشȢرَها آِخُرَهاَوَخْيُرُصُفوِف الȣنَساِء آِخُرَهاَوَشȢرَهاȦاȡوُلَها
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama, sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir dan Sebaik-baik
shaf perempuan adalah yang paling akhir, sejelek-jeleknya adalah adalah yang paling awal”.[9]
Maka renungkan wahai saudaraku
apakah lebih layak orang –bukan suami istri– yang tidak sedang dalam keadaan beribadah kepada Allah
untuk berdekatan, berdua-duan dan bermesra-mesraan serta merasa aman dari perbuatan menuju zina
padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia mengatakan yang demikian !!!??
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan :
ماَنَهيُتكُْمَعْنُه ، فاْجَتِنبوُه
“Semua perkara yang aku larang maka jauhilah”[10]
Allahu Ta’ala a’lam bish showaab, mudah-mudahan yang sedikit ini dapat menjadi renungan bagi orang-orang
yang masih melakukannya dan bagi kita yang tidak mudah-mudahan Allah jaga anak keturunan kita darinya.
Menjelang malam, 17 Jumadi Tsaniyah 1430/11 Juni 2009.
Abu Halim Budi bin Usman As Sigambali
Yang selalu mengharap ampunan Robbnya
[1] Jika tujuannya seperti ini saja terlarang bagaimana jika tidak dengan tujuan yang demikian semisal
hanya ingin berbagi rasa duka dan bahagia ??!! Tentulah hukumnya lebih layak untuk dikatakan haram.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan hal. 431 terbitan Dar Ibnu Hazm Beirut, Libanon.
[3] Lihat Fathul Qodhir hal. 258, terbitan Maktabah Syamilah.
[4] Lihat Syarh Al Kabair hal. 60 terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Lebanon.
[5] HR. Ibnu Khuzaimah no. 91/III, Ibnu Hibban no. 107, Al Hakim no. 358-359/IV, Ahmad no. 323/V, Thobroni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofiyullah alkahfi alfiyah bab fail

Shofiyullah Alkahfi alfiyah bab maful mutlaq

Shofiyullah alkahfi alfiyah bab tanazu'